Perubahan Iklim di Indonesia
Written by Administrator
Monday, 08 April 2013 07:15
Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan sebagainya). Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan lain-lain.
Beberapa
studi institusi, baik dari dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa
iklim di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960, meskipun
analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas.
Perubahan
temperatur rerata harian merupakan indikator paling umum perubahan
iklim. Ke depan, UK Met Office memproyeksikan peningkatan temperatur
secara umum di Indonesia berada pada kisaran 20 C – 2,50 C pada tahun
2100 berdasarkan skenario emisi A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan energi
secara seimbang antara energi non-fosil dan fosil (UK Met Office, 2011).
Data historis mengonfirmasi skenario tersebut, misalnya kenaikan
temperatur linier berkisar 2,60 C per seratus tahun untuk wilayah Malang
(Jawa Timur) berdasarkan analisis data 25 tahun terakhir (KLH, 2012).
Peningkatan
temperatur rerata harian tersebut berpengaruh secara signifikan
terhadap pola curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi monsun Asia
dan Australia. Dengan sirkulasi monsun, Indonesia memiliki dua musim
utama yang berubah setiap setengah tahun sekali (musim penghujan dan
kemarau). Perubahan temperatur rerata harian juga dapat mempengaruhi
terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrem.
UK
Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan maupun banjir parah
sepanjang 1997 hingga 2009. Analisis data satelit TRMM (Tropical
Rainfall Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate Change
Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan
peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem,
terutama di wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan) serta Papua. Salah satu fenomena yang mengonfirmasi
terjadinya peningkatan temperatur di Indonesia adalah melelehnya es di
Puncak Jayawijaya, Papua.
Di
samping mengakibatkan kekeringan atau banjir ekstrem, peningkatan
temperatur permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya peningkatan
temperatur air laut yang berujung pada ekspansi volum air laut dan
mencairnya glestser serta es pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi
muka air laut mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan
kualitas kehidupan di pesisir pantai.
Kenaikan
rerata tinggi muka laut pada abad ke-20 tercatat sebesar 1,7 mm per
tahun secara global, namun kenaikan tersebut tidak terjadi secara
seragam. Bagi Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik,
kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh pada pola
arus laut. Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan tinggi muka
laut yang tidak seragam juga meningkatkan potensi terjadinya erosi,
perubahan garis pantai, mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang
pantai, dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap aquifer daerah
pantai.
Berdasarkan
kajian yang dilakukan oleh Bappenas (ICCSR, 2010) dan Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2011, gelombang badai (storm surge);
pasang surut, serta variabilitas iklim ekstrem seperti La Niña yang
termodulasi oleh kenaikan tinggi muka laut juga turut berkontribusi
dalam memperparah bahaya penggenangan air laut di pesisir.
Analisis
awal terhadap data-data simulasi gelombang menunjukkan bahwa rerata
tinggi gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode monsun Asia
berkisar antara 1 m hingga 6 m. Untuk Laut Jawa, tinggi gelombang
maksimum, terutama Januari dan Februari mencapai 3,5 m. Hal ini menambah
risiko banjir di daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) karena bertepatan
dengan puncak musim penghujan di Indonesia.
Selain
risiko banjir di pantai, gelombang ekstrem juga berdampak buruk
terhadap distribusi barang antar pulau yang banyak menggunakan
transportasi laut. Di sisi lain, analisis yang dilakukan terhadap
fenomena El Niño dan La Niña (Sofian, 2010) menunjukkan bahwa kedua
fenomena tersebut akan lebih banyak berpeluang terjadi di masa mendatang
dengan periode dua hingga tiga tahun sekali yang diduga disebabkan
perubahan iklim.
Perubahan
iklim di Indonesia berdampak cukup besar terhadap produksi bahan
pangan, seperti jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari sektor
kelautan (ikan maupun hasil laut lainnya) diperkirakan akan mengalami
penurunan yang sangat besar dengan adanya perubahan pada pola arus,
temperatur, tinggi muka laut, umbalan, dan sebagainya.
Indonesia
bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari
ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada
sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012). Akibat dampak perubahan
iklim dan pengasaman laut (ocean acidification) pada
ketersediaan makanan hasil laut, Indonesia berada pada peringkat 23 dari
50 negara paling rentan berdasarkan kajian yang sama.
Kajian
mengenai kekeringan di Indonesia akibat perubahan iklim, terutama pada
skala nasional masih kurang. Namun peluang banjir di Indonesia akan
meningkat seiring peningkatan tinggi muka laut, intensitas gelombang
ekstrem, curah hujan yang sangat tinggi dan kejadian La Niña. Bencana
banjir ekstrem terutama terjadi pada daerah pesisir yang merupakan
lokasi kota-kota strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini berdampak
buruk bagi perekonomian serta mengancam kesehatan masyarakat.
Dari
beberapa kajian, beberapa indikator menunjukkan bahwa perubahan iklim
sudah berlangsung di Indonesia. Perubahan tersebut diketahui memberi
dampak terhadap multisektor meskipun kajian maupun data yang tersedia
masih terbatas. Di samping itu, proyeksi iklim selalu mengandung
ketidakpastian. Tantangan terbesar adalah melakukan kuantifikasi
terhadap ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan kedayagunaannya
dalam pengambilan keputusan.
Dalam
hal proyeksi iklim berdasarkan Global Climate Model (GCM), setidaknya
terdapat tiga sumber ketidakpastian yang harus diperhitungkan yaitu
skenario emisi gas rumah kaca, sensitivitas iklim global terhadap emisi
gas rumah kaca (pemilihan model GCM), dan respon sistem iklim regional
terhadap pemanasan global (model downscalling).
Langkah
penyempurnaan perlu terus dilakukan untuk mengatasi segala keterbatasan
data yang tersedia maupun metodologi yang telah digunakan dalam kajian
perubahan iklim di Indonesia, guna memenuhi kebutuhan nasional akan
informasi mengenai perubahan iklim yang lebih akurat. Untuk masa
mendatang, perlu suatu program yang disusun untuk memperkuat basis
ilmiah (scientific basis) perubahan iklim secara lebih terkoordinasi.
Program
ini perlu disusun melalui pemberdayaan berbagai lembaga yang relevan
secara optimal, khususnya lembaga penelitian dan pengembangan serta
perguruan tinggi. Dengan demikian, roadmapdapat digunakan bukan
hanya untuk memberi panduan bagi aksi adaptasi dan mitigasi tiap
sektor, tapi juga untuk memperkuat basis ilmiah mengenai perubahan iklim
di masa mendatang.
Pada
dasarnya, perubahan iklim bukan merupakan penyebab tunggal dari bencana
alam yang saat ini semakin sering terjadi. Namun perubahan iklim
berkontribusi dalam membuat fenomena atau bencana alam hidro-meteorologi
ini menjadi ekstrem atau luar biasa.
Pemerintah
Indonesia telah melakukan beberapa kajian tentang perubahan iklim yang –
meskipun masih terbatas dan belum akurat – dapat menjadi titik awal
dari suatu program yang bermanfaat bagi penguatan basis ilmiah perubahan
iklim yang terkoordinasi bagi sektor-sektor yang ada di Indonesia. Pada
akhirnya, kapasitas masing-masing sektor dapat meningkat untuk
mengatasi berbagai persoalan akibat perubahan iklim di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar