Rabu, 24 April 2013

Teknologi Budidaya Mempercepat Pembungaan Jeruk Hasil Persilangan Keprok SoE

Oleh: Hasim Ashari dan Arry Supriyanto

Indonesia dikenal memiliki banyak varietas jeruk komersial yang sudah dikenal konsumen dalam negeri diantaranya jeruk Siam Pontianak, Keprok SoE, Batu 55 dan lainnya yang biasanya sangat spesifik lokasi. Walaupun demikian, pertanaman jeruk di Indonesia masih didominasi 85% oleh jeruk Siam dikarenakan produktivitasnya yang tinggi. Komoditas jeruk lokal komersial yang ada saat ini baik secara kuantitas apalagi  kualitas buahnya belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen domestik yang mulai menghendaki buah berkualitas bagus (Martasari, 2009).  Jeruk keprok SoE merupakan salah satu varietas jeruk  lokal,  komersial unggulan  Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang  kualias  buahnya  tidak kalah dibanding dengan jeruk  keprok lain yang telah berkembang di Indonesia, seperti keprok Batu 55, Tawangmangu, Chinakonde, Garut, Madura, Tejakula dan lainnya (Didiek AB, et all, 2004). Namun jeruk keprok SoE ini hanya berkembang di daerah NTT karena adaptasi lingkungan dan bersifat spesifik lokasi, belum bias dikembangkan secara baik di daerah sentra jeruk lainnya
Menyadari bahwa jeruk Siam, keprok dan jenis lainnya yang berkembang di Indonesia  bersifat spesifik lokasi dan terbukti belum mampu bersaing dengan buah jeruk impor terutama dalam hal mutu buahnya,  maka Balitjestro semenjak tahun 2003 telah melakukan penelitian hibridisasi (persilangan) berbagai macam jeruk komersial diantarnya Keprok SoE yang terkenal karena warnanya kuning kemerahan untuk menghasilkan buah jeruk unggul dan berdaya adaptasi luas. 
Namun Kegiatan pemuliaan tanaman tahunan seperti jeruk memerlukan waktu yang  lama dan  jumlah tanaman yang banyak untuk dievaluasi lebih lanjut dalam menghasilkan buah jeruk unggul.  Menurut Nobuhito et al. (2008) pengalaman di jepang untuk kegiatan  1 siklus persilangan hingga  dihasilkan 1 kultivar jeruk siap  dilepas diperlukan waktu hampir 20 tahun.  Tanaman jeruk hasil  persilangan  melalui  kultur jaringan sering memiliki fase juvenil yang panjang sehingga memperlambat seleksi dan evaluasi karakter unggul. Juvenil adalah suatu keadaan  tanaman hasil hibridisasi yang tetap dalam fase vegetatif (tidak berbunga) pada waktu yang lama.  Untuk itu diperlukan suatu metode atau teknologi yang efektif untuk memperpendek fase juvenil tersebut sehingga tanaman jeruk hasil persilangan  dapat segera berbunga dan berbuah  untuk dievaluasi karakter unggulnya.
Penelitian dilaksanakan  di KP.Tlekung – Balitjestro yang berlokasi di kota Batu dengan ketinggian lokasi 950 di atas permukaan laut,  dan dimulai pada bulan Januari – Juni 2011, materi tanaman yang digunakan dalam penelitian  ini Keprok SoE yang telah disilangkan dengan Siam Pontianak dan Siam Mamuju yang ditanam dalam  pot dan kini telah berumur 3 tahun  dan belum pernah berbuah. Rancangan percobaan  yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial. Adapun Perlakuannya : 1. Pengeratan. 2. Stress air. 3. Pemangkasan akar. 4. Pemberian zat perangsang pembungaan (paclobutrazol). Dengan parameter pengamatan yaitu kadar air tanah, C/N ratio dan jumlah tanaman yang berbunga.

Kegiatan penelitian  teknologi budidaya yang efektif untuk memperpendek fase juvenile tanaman jeruk hasil persilangan keprok SoE dengan siam mamuju dan pontianak, menunjukkan hasil sebagai berikut
 
 Gambar 1 menunjukkan, bahwa kadar air tanah sebelum perlakuan berkisar 40, setelah 1 minggu perlakuan turun dengan tingkatan terendah pada perlakuan stress air. Hal ini dikarenakan pada perlakuan stress air memang tidak dilakukan penyiraman tanaman, sedangkan perlakuan yang lain dilakukan penyiraman tiap minggu. Tujuan dilakukan stress air adalah untuk memaksa tanaman segera berbunga melanjutkan regenerasi karena kondisi yang terancam Arboin et al., 2005 melaporkan bahwa tanaman jeruk untuk berbunga membutuhkan suatu kondisi stress air yang biasanya secara alami terjadi pada musim kemarau dan biasanya bulan mei sampai september (Sudirman dkk, 2008, Arboin et al., 2005). Demikian juga riset (Biale 1950, Rhodes, 1980) secara fisiologis tanaman jeruk akan berbunga ketika ada suatu ancaman kelangsungan hidupnya, namun untuk berbunga optimal harus tersedia cadangan nutrisi yang cukup.  (Saptarini, N. 1994, Saptarini, et al 2000, Sudirman U dkk, 2008)


Dari gambar 2, menunjukkan bahwa kadar C/N ratio berkisar 22 sampai 29 dan ini tergolong sangat tinggi untuk tanaman jeruk ( Parameter USDA) sehingga tanaman siap untuk berbunga. Pada Gambar 2 juga menunjukkan bahwa setelah 3 minggu  setelah perlakuan terjadi penurunan kadar C/N ratio. C/N ratio paling sedikit terjadi peda perlakuan ringing, hal ini terjadi karena terhambatnya pengangkutan karbohidrat (C organic) hasil fotosintesis ke bagian akar, sebaliknya suplai nitrogen dari akar cenderung tetap hal ini menggambarkan telah terjadi perubahan biosintetis dan fisiologis tanaman yang akan menghasilkan bunga (Saptarini, N. 1994, Saptarini, et al 2000 Arboin et al., 2005, Bruke et al, 1995). Risetnya menyebutkan bahwa proses pembungaan dan pembuahan dipengaruhi oleh keseimbangan antara C organic dan nitrogen (C/N ratio)  serta kalium tanaman. C/N ratio yang tinggi diperlukan untuk mempercepat pembungaan dan pembuahan. Hal ini terlihat pada gambar 2 terjadi penurunan C/N ratio dikarenakan C/N ratio dipergunakan untuk proses pembungaan (Saptarini, N. 1994, Saptarini, et al, 2000). 


Pada gambar 3 menunjukkan prosentase pembungaan selama 7 minggu pasca perlakuan. Dari gambar 3 dapat diketahui bahwa prosentase pembungaan tertinggi yaitu pada perlakuan stress air sebesar 53,3% diikuti perlakuan hormonal 40%, kemudian pangkas akar 28% dan terendah pada perlakuan ringing 17%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang paling efektif untuk membungakan tanaman keprok SoE hasil persilangan adalah stress air dan hormonal (paclobutrazol). Hal ini berbeda dengan riset yang dilakukan Saptarini, et al 2000, pada jeruk keprok tawangmangu dan grabak dilahan petani, menyebutkan perlakuan yang paling berhasil (100) adalah dengan ringing. Hal ini dikarenakan tanaman hasil persilangan mempunyai karakter fase juvenile (tidak mau berbunga) (Nobuhito et al. (2008), sedangkan tanaman komersial petani secara fisiologis mudah berbunga (umur 2 tahun).

KESIMPULAN
  • Perlakuan stress air dari kadar air tanah 42% menjadi 18% terbukti dapat menghasilkan tanaman yang berbunga lebih banyak dibandingkan dengan yang diperlakuan hormon, pangkas akar, dan ringing batang.
  • Pada 3 minggu setelah perlakuan stress air, rasio C/N menurun sekitar 50%.
  • Tanaman hasil silang dapat dipacu untuk berbunga dan berbuah setelah diperlakukan dengan stress air dan hormonal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar